Indonesia Movieland adalah sebuah proyek kawasan yang tengah dibangun di Kota Jababeka, Cikarang Selatan, Bekasi, yang direncanakan sebagai pusat industri film dan televisi terintegrasi yang menyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan oleh industri perfilman di Indonesia, serta menjadi sebuah taman tema (theme park) perfilman seperti Universal Studios, Amerika Serikat. Indonesia Movieland mulai diresmikan pembangunannya pada 20 Agustus 2008 oleh Menteri Perdagangan RI Mari Elka Pangestu, Menkominfo Muhammad Nuh, dan Menbudpar Jero Wacik.
Kendati diproyeksikan tidak akan semewah Dubai City World di Uni Emirat Arab yang menghebohkan itu, namun upaya PT Jababeka Tbk (selanjutnya Jababeka) untuk membangun pusat industri perfilman dan pertelevisian terintegrasi patut mendapat apresiasi positif.
Jababeka seperti mencoba menawarkan spektrum pengembangan baru dalam konstelasi bisnis dan industri properti di Indonesia. Mereka menciptakan blue ocean untuk tidak dikatakan market baru, yakni Indonesia Movieland. Ini merupakan kawasan industri perfilman dan pertelevisian yang sama sekali belum dirambah pengembang lain yang justru masih berkutat dalam perlombaan proyek ‘superblok’ biasa.
Pengembang yang baru saja meresmikan operasionalisasi Metropark Condominium itu berencana membangun Indonesia Movieland di atas lahan seluas 36 Ha. Dirancang dengan konsep kawasan industri yang didedikasikan untuk insan-insan perfilman dan pertelevisian Nasional.
Dikatakan Presiden Direktur PT Jababeka Tbk Setiyono Djuandi Darmono, Indonesia Movieland bukan sekadar theme park seperti halnya Universal Studio di Amerika Serikat yang tujuan utamanya memang menarik wisatawan. “Indonesia Movieland lebih dari itu, merupakan pusat industri kreatif perfilman dan pertelevisian. Diharapkan dari sini lahir sineas-sineas andal yang mampu memproduksi film-film bermutu yang mampu mengisi pasar domestic dan mancanegara,” ujar Darmono.
Proyek istimewa ini akan merangkum fasilitas-fasilitas yang mendukung berlangsungnya kegiatan produksi, pasca produksi dan apreasiasi film dan televisi seperti studio dengan ukuran yang bervariasi sebagai tempat syuting, TV Station, President Film Academy, museum dan laboratorium film, pusat kebudayaan, gedung serba guna (convention hall). Yang paling utama, terdapat lokasi syuting dengan sejumlah replika yang sangat dibutuhkan kalangan perfilman dan pertelevisian. Akan disediakan mobil-mobil kuno, jalan-jalan legendaris di dalam dan luar negeri, dan rumah-rumah yang dibangun seperti tahun 50-an, atau bahkan hutan buatan.
Karena dirancang sebagai kawasan industri (industrial estate), Jababeka juga bakal melengkapinya dengan membangun perumahan dan fasilitas menginap guna mengakomodasi kebutuhan para penggiat perfilman dan televisi akan tempat tinggal. Fasilitas tempat tinggal tersebut berupa 29 unit town houses, 64 unit landed houses, apartemen dan pusat hiburan yang beroperasi 24 jam serta hotel bintang lima. Pembangunan Indonesia Movieland sendiri dijadwalkan berlangsung kuartal IV 2008 dan direncanakan rampung pada 2011.
Dibutuhkan dana lumayan besar untuk merealisasikan proyek tersebut, sekitar Rp3,6 triliun. Jababeka sendiri hanya sanggup menyediakan sekitar 20 persennya saja. “Sebagian besar lainnya kami upayakan mendapat pinjaman dari bank,” ujar Darmono. Agar tidak menjadi proyek yang sebatas ‘wacana’ Jababeka juga menempuh opsi strategis melalui perkongsian dengan beberapa pihak. Di antaranya Multivision Plus sebagai equity partner dan Microsoft Indonesia. Nama terakhir ini berkomitmen dengan memberikan new graphics software secara gratis kepada seluruh mahasiswa jurusan multimedia yang menimba ilmu di President Film Academy, serta kepada semua perusahaan pemula di bidang multimedia yang beroperasi di Indonesia Movieland.
Selain itu, kontribusi Microsoft Indonesia juga merambah pada pemberian diskon yang besar untuk software high performance computing yang dibutuhkan dalam rendering grafis bagi industri film dan animasi.
Bukan perkara mudah untuk mewujudkan proyek ini. Mengingat beberapa waktu silam, TVRI juga pernah membangun properti serupa yakni Studio Alam di Depok, Jawa Barat, sementara rumah produksi milik Camelia Malik juga punya Studio Persari, dan Kampung Artis milik PT Taman Kampung Artis (anak usaha Gajah Mada Record). Ketiganya juga dilengkapi fasilitas indoor dan outdoor studio, kafe dan tempat hiburan. Meski masih kerap digunakan sebagai lokasi syuting film dan sinetron, namun pengelolaan dan teknologi yang digunakan masih terhitung sederhana untuk tidak dikatakan primitif. Jadi, belum bisa diandalkan untuk menghasilkan karya film dan televisi yang bisa berkompetisi dengan karya impor.
Kehadiran Indonesia Movieland mustinya bisa mengisi celah ini. Sebab, gairah perfilman dan pertelevisian di Indonesia tengah dalam masa tinggal landas. Hasil riset AGB Nielsen di 10 kota area survei (Jakarta, Bandung, Medan, Semarang, Surabaya, Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin) menunjukkan kenaikan yang cukup dramatis pada jam tayang film lokal tahun 2007. Yakni 2.292 jam yang berasal dari beberapa stasiun televis, seperti RCTI (160 jam tayang), SCTV (99 jam), TPI (88 jam), dan Indosiar (82 jam).
Dus, belanja iklan televisi yang mencatat nilai Rp23,121 triliun, bisa dijadikan indikator atas proyeksi perkembangan kawasan industri spesifik ini. Tren belanja iklan tersebut memperlihatkan kurva meningkat 13% dari tahun 2006 silam yang hanya mampu menuai Rp20,51 triliun. Jelas, data dari Nielsen Media Research bisa dijadikan acuan betapa industri perfilman dan pertelevisian membutuhkan sebuah kawasan terpadu yang dapat mengakomodasi sekaligus merangsang pertumbuhan produksi.
“Diharapkan dari Indonesia Movieland dapat melahirkan lebih dari 1.000 karya film dan sinetron. Melebihi yang dihasilkan Bollywood di India dan Negara tetangga seperti Hong Kong sebagai pusat perfilman Asia,” harap Darmono.
Indonesia Movieland termasuk salah satu dari dua proyek besar yang dicanangkan Jababeka tahun ini. Selain Indonesia Movieland, tahun ini perseroan akan mengembangkan Medical City di atas lahan seluas 70 Ha.
Kapitalisasi Jababeka Capai Rp2 Triliun
Meskipun kalah agresif dibanding pengembang lain macam PT Bakrieland Development Tbk dan Agung Podomoro Group, PT Jababeka Tbk diam-diam memiliki kapitalisasi aset senilai lebih dari Rp 2 triliun. Angka ini tercipta berkat amannya aset-aset mereka dari intaian pihak lain saat melakukan restrukturisasi hutang beberapa waktu lalu.
Sebut saja Kawasan Industri (KI) Jababeka seluas 1.580 Ha. KI ini kini bernilai Rp853 miliar. Sementara KI Cilegon yang seluas 800 Ha berkapitalisasi Rp960 miliar. Ini belum termasuk 1.500 Ha Perumahan Graha Buana Cikarang senilai Rp 675 miliar, KI Indocargo Mas (200 Ha) Rp 108 miliar, tanah Batavia Perkasa (Rp150 miliar) dan Padang Golf Cikarang (40 Ha) dengan nilai Rp 200 miliar.
Selain itu, Jababeka juga masih memiliki 1.500 Ha lahan yang belum digarap di Tanjung Lesung, Banten senilai Rp 807 miliar, aset properti komersial Batavia City Realty yang popular dengan sebutan Menara Batavia di Jakarta (Rp112 miliar), Plaza Jababeka (Rp38 miliar) dan Tanjung Lesung Resort dengan lahan seluas 18.300 Ha, yang ditaksir bernilai Rp18 miliar.